KEHILANGAN YANG TERAKHIR
“Ayolah
jangan bercanda, dong!” seru Rea.
“Aku
serius, Re. Kamu mau nggak jadi
pacarku?” jawab Hugo.
“Duh,
kamu tau kan kalo aku itu gak mau pacaran dulu, Go?” tanya Rea.
“Iya
iya aku tau, cuma kan aku penasaran aja. Tapi kamu sayang kan sama aku, Re.
Ayolah jujur aja.” sahut Hugo.
Rea
mengangguk sambil tersipu malu.
Hubungan
itu resmi terjalin dengan jembatan penyebrangan sebagai saksi.
Rea dan Hugo sudah berteman sejak
kelas 4 SD. Hugo adalah murid pindahan dari Australia yang pindah ke Indonesia
karena ayahnya dipindah tugaskan untuk bekerja di Denpasar. Rea dan Hugo sering
bermain bersama. Hingga saat ia dan Rea sudah SMA, mereka masih tetap berteman
baik. Dan kini, hubungan mereka bukanlah sebagai teman lagi, melainkan sudah
menjadi pasangan.
“Selamat
hari jadi yang ke 4 bulan, Re.” Hugo mengetuk jendela ruang kelas Rea dengan
membawa boneka beruang yang berukuran besar yang membawa seikat bunga.
“Selamat
hari jadi yang ke 4 bulan, Go.” Rea mengeluarkan sebuah album foto dari tasnya.
Kemudian keluar dari ruang kelas.
“Makasih
ya.” Sahut Rea setelah menerima boneka dan bunga dari Hugo.
“Re,
aku mau ngomong.” Hugo menatap Rea serius. “Lulus SMA, aku bakal balik ke
Australia sama Ayahku. Aku bakal kuliah disana. Ayahku dipindah tugas lagi,
Re.” lanjutnya.
Rea
hanya diam.
Setelah kelulusan, Hugo kembali ke
Australia dan melanjutkan kuliahnya disana. Rea diterima di Universitas Negeri
yang dekat rumahnya. Hubungan mereka baik-baik saja. Mereka memutuskan untuk menjadi
satu dengan jarak. Sampai di semester ke-4, Rea bertemu orang lain.
Namanya Alen. Satu jurusan dengan
Rea dan salah satu mahasiswa teladan di kampus. Alen dan Rea sering mengerjakan
tugas kelompok bersama. Mereka semakin dekat sampai ahkirnya Rea merasa nyaman
dengan Alen. Begitu juga sebaliknya.
“Aku
ketemu orang lain.” Kata Rea.
“Maksudnya?”
Tanya Hugo tak mengerti.
“Maaf,
Go.” jelas Rea.
“Oke,
aku bisa ngerti. Semoga sukses, Re.” sahut Hugo.
Engkau bagai kapal yang terus
melaju
Di luasnya ombak samudra biru
Namun sayngnya kau tak pilih aku
Tuk jadi pelabuhanmu—Hugo
untuk Rea.
Hubungan Rea dan Alen berlangsung
lancar. Mereka seperti pasangan pada umumnya, nonton bioskop, pergi belanja,
dan hal lainnya mereka sering lakukan berdua.
“Wi,
aku mau ke toko buku, kamu ikut nggak?”
Tanya Rea pada Dewi.
“Loh,
tumben sendiri. Gak sama Alen?”
“Dia
lagi kursus computer, aku nggak enak kalo minta anter sama dia.”
Dewi adalah saudara sepupu Rea. Dewi
dan Rea masuk ke Universitas yang sama. Oleh karena itu Dewi tinggal di rumah
Rea, agar dekat untuk pergi ke kampus. Rea dan Dewi sering pergi bersama saat
Rea masih menjalin hubungan dengan Hugo. Tapi semenjak Rea bersama Alen, mereka
jadi jarang keluar bersama.
“Nggak,
ah. Aku mau buat tugas.” Sahut Dewi.
Akhirnya Rea pergi ke toko buku
sendirian. Di sepanjang jalan, Rea melihat sekeliling. Ia melihat
bangunan-bangunan tua yang waktu kecil ia dan Hugo sering bermain disana. Ia
melihat pohon manga yang buahnya sering dipetik Hugo untuknya. Ia merndukan
masa-masa kecilnya. Ia merindukan Hugo.
Sesampainya di toko buku, ia tidak
menemukan buku yang dicarinya. Saat ingin bertanya pada staff, ia melihat sosok
yang sudah tidak asing lagi baginya, Hugo. Hugo ada di deretan buku motivasi.
Rea mematung melihat Hugo. Saat hugo menoleh, ia pun tersenyum. Kemudian, Hugo
menghampiri Rea.
“Udah
lama ya kita nggak ketemu. Apa kabar?” sapa Hugo.
“Baik,
kamu sendiri gimana di Australi?” balas Rea.
“Kuliahku
lancar-lancar aja”
“Kamu
kapan balik ke indo? Kok gak bilang-bilag sih?”
“Baru
kemarin malam, aku kesini bentar aja kok, aku lagi observasi untuk tugas
kuliahku.” kata Hugo.
Hugo berbohong, ia ke Indonesia
karena rindu pada Rea.
“Kamu
lagi nyari buku ya?” lanjut Hugo.
“Iya,
nih. Cuma nggak ketemu”.
“Buku
apa? Mau aku bantu cari?”
Mereka mencari buku itu bersama dan
menemukannya. Setelah mengucapkn selamat tinggal, mereka kembali ke rumah
masing-masing.
Kukira aku sudah melupakanmu
Kukira kita sudah berbeda
Kukira aku bisa bersamanya
–Rea pada Hugo
Rea hanya kagum pada Alen. Tidak
lebih. Rea sadar hari itu. Tapi tak mampu melepaskan. Rea memutuskan untuk
menjalani harinya bersama Alen seperti biasa.
Dalam perjalanan pulang, Hugo
merasakan nyeri di kepalanya. Rasa sakit yang selama ini ia sembunyikan kini
menjalari tubuhnya yang kian hari kian melemah. Tak ada yang tau betapa
menderitanya Hugo, kecuali kdua orang tuanya. Namun saat itu, ia tak mampu
sembunyi lagi, ia tak tahan menahan rasa sakit di kepalanya itu. Tanpa ia
sadari, ia semakin melemah dan jatuh pingsan di pinggir jalan.
Saat terbangun, Hugo melihat sinar
lampu yang menyilaukan yang menyorot wajahnya. Ia berada di ICU. Ia melihat
ibunya duduk dibeselahnya.
”Bu,
aku tidak apa-apa”
“Kemarin
seseorang menemukanmu pingsan di pinggir jalan. Ia menelepon Ibu lewat ponselmu.
Saat ibu tau, ibu langsung kesini. Ayahmu tidak bisa ikut, iah harus
menyeselaikan pekerjaannya. Tapi ia janji akan segera kesini untuk menemuimu.”
“Sudahlah,
Bu. Aku tidak apa-apa.”
“Kau
harus dioperasi lagi”
“Tapi,
Bu. Ini kedua kalinya aku dioperasi tahun ini.”
“Ikuti
saja. Kata dokter ini yang terbaik.”
Hugo menderita penyakit kanker
paru-paru semenjak SMA. Ia melanjutkan kuliah ke Australia sekaligus untuk
berobat. Ia tidak memberitahu Rea. Karena ia tau, kalau sampai Rea tau tentang
penyakit yang dideritanya, ia hanya akan membuat Rea sedih.
Keesokan harinya, Hugo menjalani
operasi keduanya itu. Sebelum ia dioperasi, Ibu Hugo telah menghubungi Rea dan
memberitahu Rea bahwa hari ini Hugo akan dioperasi.
Rea,
hari ini Hugo akan dioperasi. Bibi harap kamu bisa menemaninya selama ia
dioperasi.—kirim.
Setelah menerima pesan dari Ibu
Hugo, Rea segera menuju ke rumah sakit tempat Hugo dioperasi. Namun, sebelum
itu ia menghubungi Alen.
Aku
akan ke rumah sakit. Kau ingat Hugo? Hari ini dia dioperasi.—kirim.
Sempat terjadi kemacetan yang cukup
lama saat perjalanan Rea ke rumah sakit. Setelah Rea melewati kemacetan itu, ia
melihat sebuah mobil CVR mengalami kecelakaan. Setelah itu Rea melanjutkan perjalanannya.
Sesampainya Rea di rumah sakit, ia
bertemu dengan Ibu Hugo. Kemuadian, sambil menangis,Ibu Hugo menceritakan
kondisi Hugo yang sebenarnya. Rea yang baru mengetahuinya merasa sangat
terpukul. Ia terus menangis selama operasi Hugo berlangsung.
Setelah selesai di operasi, Rea
menemui Hugo. Operasinya berhasil, namun Hugo belum sadarkan diri karena
pengaruh obat bius. Rea duduk disebelah ranjang Hugo sambil terus menangis.
Melihat hal itu, Ibu Hugo menyuruh Rea untuk pulang, karena seharian ia sudah
berada di rumah sakit. Rea-pun menurut dan kemudian ia pulang.
Rea menaruh tasnya di ranjang dan
merebahkan diri. Ia mengeluarkan telepon genggam dari dalam tasnya. Ia mengecek
telepon gengamnya, terlihat 8 panggilan tak terjawab, dari nomor Alen. Ia tidak
terkejut, karena ia tidak sempat mengabari Alen selama ia berada di rumah
sakit. Ia mencari kontak Alen—panggil. Lama
ia menunggu, namun taka da jawaban dari Alen. Rea mencoba menelepon Alen
beberapa kali lagi, namun tetap tidak ada jawaban. Setelah mengirim pesan, ia
memutuskan untuk pergi mandi.
Jam menunjukkan pukul 7 malam. Rea
menggantung haanduk basahnya dibalik pintu, kemudian kembali duduk di ranjang
untuk mengecek telepon genggamnya.
Rea terkejut. Ia mendapat telepon
dari Ibunya Alen. Dengan segera ia menyambar telepon genggamnya yang ada diatas
ranjang. Terdengar suara isak tangis pada suara Ibu Alen.
“Halo”,
dengan ragu Rea berkata sambil mengangkat telepon.
“Rea”
“Iya,
ada apa, Bibi?”
“Bibi
ingin mengabarimu tentang Alen”
“Ada
apa, Bi? Aku mencoba menghubungi Alen sejak ta—“ ucapan Rea terpotong.
“Alen
sudah meninggal, Re”.
“Apa?”
tanya Rea.
“Iya.
Ia mengalami kecelakaan tadi pagi”.
Suara Rea tertahan, ia ingin bicara
tapi tak tau akan berkata apa. Saat itu isak tangisnya tak terbendung, Rea
menangis sejadi-jadinya. Ia menjatuhkan telepon genggamnya.
Orang-orang sudah kembali ke rumah
mereka masing-masing. Tinggal Rea dan ibu Hugo saja disana. Rea tidak menangis.
Ia sudah kehabisan air mata untuk menangis. Ia menghabiskan air matanya saat
upacara pemakaman Alen seminggu lalu.
Operasi Hugo berhasil, tapi tubuh
Hugo tidak menerima respon dari operasi itu dan malah berdampak buruk bagi
kesehatan Hugo. Hugo meninggalkan Rea saat Rea ada pada titik terlemahnya.
Kini, saat pemakaman Hugo, ia hanya
berdiri termenung dengan tatapan kosong menatap gundukan tanah yang bertabur
bunga di depannya. Rea tidak tahu apa yang harus ia lakukan, ia hanya tahu
bahwa ini adalah kehilangan yang terakhir baginya.