Senin, 05 Desember 2016

CERPEN: KEHILANGAN YANG TERAKHIR

KEHILANGAN YANG TERAKHIR

“Ayolah jangan bercanda, dong!” seru Rea.
“Aku serius, Re. Kamu mau nggak jadi pacarku?” jawab Hugo.
“Duh, kamu tau kan kalo aku itu gak mau pacaran dulu, Go?” tanya Rea.
“Iya iya aku tau, cuma kan aku penasaran aja. Tapi kamu sayang kan sama aku, Re. Ayolah jujur aja.” sahut Hugo.
Rea mengangguk sambil tersipu malu.
Hubungan itu resmi terjalin dengan jembatan penyebrangan sebagai saksi.
            Rea dan Hugo sudah berteman sejak kelas 4 SD. Hugo adalah murid pindahan dari Australia yang pindah ke Indonesia karena ayahnya dipindah tugaskan untuk bekerja di Denpasar. Rea dan Hugo sering bermain bersama. Hingga saat ia dan Rea sudah SMA, mereka masih tetap berteman baik. Dan kini, hubungan mereka bukanlah sebagai teman lagi, melainkan sudah menjadi pasangan.
“Selamat hari jadi yang ke 4 bulan, Re.” Hugo mengetuk jendela ruang kelas Rea dengan membawa boneka beruang yang berukuran besar yang membawa seikat bunga.
“Selamat hari jadi yang ke 4 bulan, Go.” Rea mengeluarkan sebuah album foto dari tasnya. Kemudian keluar dari ruang kelas.
“Makasih ya.” Sahut Rea setelah menerima boneka dan bunga dari Hugo.
“Re, aku mau ngomong.” Hugo menatap Rea serius. “Lulus SMA, aku bakal balik ke Australia sama Ayahku. Aku bakal kuliah disana. Ayahku dipindah tugas lagi, Re.” lanjutnya.
Rea hanya diam.
            Setelah kelulusan, Hugo kembali ke Australia dan melanjutkan kuliahnya disana. Rea diterima di Universitas Negeri yang dekat rumahnya. Hubungan mereka baik-baik saja. Mereka memutuskan untuk menjadi satu dengan jarak. Sampai di semester ke-4, Rea bertemu orang lain.
            Namanya Alen. Satu jurusan dengan Rea dan salah satu mahasiswa teladan di kampus. Alen dan Rea sering mengerjakan tugas kelompok bersama. Mereka semakin dekat sampai ahkirnya Rea merasa nyaman dengan Alen. Begitu juga sebaliknya.
“Aku ketemu orang lain.” Kata Rea.
“Maksudnya?” Tanya Hugo tak mengerti.
“Maaf, Go.” jelas Rea.
“Oke, aku bisa ngerti. Semoga sukses, Re.” sahut Hugo.
Engkau bagai kapal yang terus melaju
Di luasnya ombak samudra biru
Namun sayngnya kau tak pilih aku
Tuk jadi pelabuhanmu—Hugo untuk Rea.
            Hubungan Rea dan Alen berlangsung lancar. Mereka seperti pasangan pada umumnya, nonton bioskop, pergi belanja, dan hal lainnya mereka sering lakukan berdua.
“Wi, aku mau ke toko buku, kamu ikut nggak?” Tanya Rea pada Dewi.
“Loh, tumben sendiri. Gak sama Alen?”
“Dia lagi kursus computer, aku nggak enak kalo minta anter sama dia.”
            Dewi adalah saudara sepupu Rea. Dewi dan Rea masuk ke Universitas yang sama. Oleh karena itu Dewi tinggal di rumah Rea, agar dekat untuk pergi ke kampus. Rea dan Dewi sering pergi bersama saat Rea masih menjalin hubungan dengan Hugo. Tapi semenjak Rea bersama Alen, mereka jadi jarang keluar bersama.
“Nggak, ah. Aku mau buat tugas.” Sahut Dewi.
            Akhirnya Rea pergi ke toko buku sendirian. Di sepanjang jalan, Rea melihat sekeliling. Ia melihat bangunan-bangunan tua yang waktu kecil ia dan Hugo sering bermain disana. Ia melihat pohon manga yang buahnya sering dipetik Hugo untuknya. Ia merndukan masa-masa kecilnya. Ia merindukan Hugo.
            Sesampainya di toko buku, ia tidak menemukan buku yang dicarinya. Saat ingin bertanya pada staff, ia melihat sosok yang sudah tidak asing lagi baginya, Hugo. Hugo ada di deretan buku motivasi. Rea mematung melihat Hugo. Saat hugo menoleh, ia pun tersenyum. Kemudian, Hugo menghampiri Rea.
“Udah lama ya kita nggak ketemu. Apa kabar?” sapa Hugo.
“Baik, kamu sendiri gimana di Australi?” balas Rea.
“Kuliahku lancar-lancar aja”
“Kamu kapan balik ke indo? Kok gak bilang-bilag sih?”
“Baru kemarin malam, aku kesini bentar aja kok, aku lagi observasi untuk tugas kuliahku.” kata Hugo.
            Hugo berbohong, ia ke Indonesia karena rindu pada Rea.
“Kamu lagi nyari buku ya?” lanjut Hugo.
“Iya, nih. Cuma nggak ketemu”.
“Buku apa? Mau aku bantu cari?”
            Mereka mencari buku itu bersama dan menemukannya. Setelah mengucapkn selamat tinggal, mereka kembali ke rumah masing-masing.
Kukira aku sudah melupakanmu
Kukira kita sudah berbeda
Kukira aku bisa bersamanya –Rea pada Hugo
            Rea hanya kagum pada Alen. Tidak lebih. Rea sadar hari itu. Tapi tak mampu melepaskan. Rea memutuskan untuk menjalani harinya bersama Alen seperti biasa.
            Dalam perjalanan pulang, Hugo merasakan nyeri di kepalanya. Rasa sakit yang selama ini ia sembunyikan kini menjalari tubuhnya yang kian hari kian melemah. Tak ada yang tau betapa menderitanya Hugo, kecuali kdua orang tuanya. Namun saat itu, ia tak mampu sembunyi lagi, ia tak tahan menahan rasa sakit di kepalanya itu. Tanpa ia sadari, ia semakin melemah dan jatuh pingsan di pinggir jalan.
            Saat terbangun, Hugo melihat sinar lampu yang menyilaukan yang menyorot wajahnya. Ia berada di ICU. Ia melihat ibunya duduk dibeselahnya.
”Bu, aku tidak apa-apa”
“Kemarin seseorang menemukanmu pingsan di pinggir jalan. Ia menelepon Ibu lewat ponselmu. Saat ibu tau, ibu langsung kesini. Ayahmu tidak bisa ikut, iah harus menyeselaikan pekerjaannya. Tapi ia janji akan segera kesini untuk menemuimu.”
“Sudahlah, Bu. Aku tidak apa-apa.”
“Kau harus dioperasi lagi”
“Tapi, Bu. Ini kedua kalinya aku dioperasi tahun ini.”
“Ikuti saja. Kata dokter ini yang terbaik.”
            Hugo menderita penyakit kanker paru-paru semenjak SMA. Ia melanjutkan kuliah ke Australia sekaligus untuk berobat. Ia tidak memberitahu Rea. Karena ia tau, kalau sampai Rea tau tentang penyakit yang dideritanya, ia hanya akan membuat Rea sedih.
            Keesokan harinya, Hugo menjalani operasi keduanya itu. Sebelum ia dioperasi, Ibu Hugo telah menghubungi Rea dan memberitahu Rea bahwa hari ini Hugo akan dioperasi.
Rea, hari ini Hugo akan dioperasi. Bibi harap kamu bisa menemaninya selama ia dioperasi.—kirim.
            Setelah menerima pesan dari Ibu Hugo, Rea segera menuju ke rumah sakit tempat Hugo dioperasi. Namun, sebelum itu ia menghubungi Alen.
Aku akan ke rumah sakit. Kau ingat Hugo? Hari ini dia dioperasi.—kirim.
            Sempat terjadi kemacetan yang cukup lama saat perjalanan Rea ke rumah sakit. Setelah Rea melewati kemacetan itu, ia melihat sebuah mobil CVR mengalami kecelakaan. Setelah itu Rea melanjutkan perjalanannya.
            Sesampainya Rea di rumah sakit, ia bertemu dengan Ibu Hugo. Kemuadian, sambil menangis,Ibu Hugo menceritakan kondisi Hugo yang sebenarnya. Rea yang baru mengetahuinya merasa sangat terpukul. Ia terus menangis selama operasi Hugo berlangsung.
            Setelah selesai di operasi, Rea menemui Hugo. Operasinya berhasil, namun Hugo belum sadarkan diri karena pengaruh obat bius. Rea duduk disebelah ranjang Hugo sambil terus menangis. Melihat hal itu, Ibu Hugo menyuruh Rea untuk pulang, karena seharian ia sudah berada di rumah sakit. Rea-pun menurut dan kemudian ia pulang.
            Rea menaruh tasnya di ranjang dan merebahkan diri. Ia mengeluarkan telepon genggam dari dalam tasnya. Ia mengecek telepon gengamnya, terlihat 8 panggilan tak terjawab, dari nomor Alen. Ia tidak terkejut, karena ia tidak sempat mengabari Alen selama ia berada di rumah sakit. Ia mencari kontak Alen—panggil. Lama ia menunggu, namun taka da jawaban dari Alen. Rea mencoba menelepon Alen beberapa kali lagi, namun tetap tidak ada jawaban. Setelah mengirim pesan, ia memutuskan untuk pergi mandi.
            Jam menunjukkan pukul 7 malam. Rea menggantung haanduk basahnya dibalik pintu, kemudian kembali duduk di ranjang untuk mengecek telepon genggamnya.
            Rea terkejut. Ia mendapat telepon dari Ibunya Alen. Dengan segera ia menyambar telepon genggamnya yang ada diatas ranjang. Terdengar suara isak tangis pada suara Ibu Alen.
“Halo”, dengan ragu Rea berkata sambil mengangkat telepon.
“Rea”
“Iya, ada apa, Bibi?”
“Bibi ingin mengabarimu tentang Alen”
“Ada apa, Bi? Aku mencoba menghubungi Alen sejak ta—“ ucapan Rea terpotong.
“Alen sudah meninggal, Re”.
“Apa?” tanya Rea.
“Iya. Ia mengalami kecelakaan tadi pagi”.
            Suara Rea tertahan, ia ingin bicara tapi tak tau akan berkata apa. Saat itu isak tangisnya tak terbendung, Rea menangis sejadi-jadinya. Ia menjatuhkan telepon genggamnya.
            Orang-orang sudah kembali ke rumah mereka masing-masing. Tinggal Rea dan ibu Hugo saja disana. Rea tidak menangis. Ia sudah kehabisan air mata untuk menangis. Ia menghabiskan air matanya saat upacara pemakaman Alen seminggu lalu.
            Operasi Hugo berhasil, tapi tubuh Hugo tidak menerima respon dari operasi itu dan malah berdampak buruk bagi kesehatan Hugo. Hugo meninggalkan Rea saat Rea ada pada titik terlemahnya.

            Kini, saat pemakaman Hugo, ia hanya berdiri termenung dengan tatapan kosong menatap gundukan tanah yang bertabur bunga di depannya. Rea tidak tahu apa yang harus ia lakukan, ia hanya tahu bahwa ini adalah kehilangan yang terakhir baginya.